Minggu, 02 Oktober 2011

Siporsuk


Pendidikan di Samosir "Dang Tarandunghon"

Ramses Simanjuntak, Onan Runggu
   Kisah nyata seorang tenaga honorer di Kabupaten Samosir. Mengajar di salah satu sekolah di Kecamatan bagian paling timur pulau Samosir. Mengisahkan nasibnya sebagai guru honor. Serta komentarnya sebagai guru, tentang pendidikan di Samosir akhir-akhir ini. "Na porsuk do anggo hami na honor on" katanya dalam bahasa Batak.
    Menggantungkan harapannya pada dana Bantuan Operasional Sekolah. Mestinya dana BOS bisa di terima oleh si Honorer pertriwulan, namun terkadang bisa sampai empat bulan, bahkan lima bulan dia baru menerima upah.
    Seperti pemintaan si honor, sebut saja namanya Porsuk ("molo bahenonmuna tu koran unang bahen goarhu. 'Si porsuk' ima bahen goarna"). Usianya 40 tahun, seorang tenaga honorer di dinas Pendidikan PemKab Samosir.
    Anak empat, dua orang sudah memasuki usia sekolah. Porsuk seorang sarjana, dan merasa cukup pintar menurut pengakuannya.
    Dulu sewaktu masih sekolah, dia sering menjadi the best di kelasnya. Hanya saja, dia merasa tidak cukup beruntung untuk menjadi PNS.
    Dengan usia yang sudah diambang batas, si Porsuk selalu berharap adanya pengangkatan otomatis menjadi PNS. Dia takjub dengan slip gaji yang di tandatangani oleh para guru PNS, setiap awal bulan. Belum lagi tunjangan sertifikasi bagi yang sudah menerimanya, di tambah tunjangan lainnya.
    Menurutnya, untuk ukuran seorang PNS yang tinggal di kampung, jumlah itu sudah cukup lumayan banyak.
    Si porsuk sudah lima tahun menjadi tenaga honorer. Sebelumnya dia seorang sopir angkutan kota di Jakarta. Adu jotos sesama sopir angkot, cekcok dengan preman jalanan, lalu ditampar oleh oknum petugas berseragam, sudah menjadi menu kesehariannya. Sering dia pulang ke rumah dengan wajah yang memar dan bengkak. Sehingga lama kelamaan, si Porsuk merasa sangat tidak manusiawi dan bermartabat.
    Situasinya sangat tidak sesuai dengan ijazah sarjana yang di kantonginya. Di tambah dengan tekanan isteri dan keluarganya yang lain, akhirnya dia memboyong keluarga pulang kampung. Jadilah dia menjabat status sebagai tenaga honorer.
    Sudah lima tahun si Porsuk jadi tenaga honorer. Saban hari, kecuali minggu dia pergi bertugas. Dari pukul 07.30 sampai pukul 13.00. Honornya tidak seberapa, hanya sekitar 500.000 Rupiah sebulan. Honor itu dia terima sekali dalam empat atau lima bulan. Selama itu, dia harus banting tulang menambah penghasilan untuk menghidupi keluarganya.
    Bersama isterinya, dia mengusahakan sebidang tanah yang di tanami padi. Terkadang, hasil panennya baik, lain waktu rusak. Pada saat hasil panen tidak memuaskan, biasanya si Porsuk terpaksa harus mencari pinjaman kesana kemari. Lalu pada saat dia mendapat upahnya dari dana BOS, habis untuk menutup utang utangnya.
    Si Porsuk tetap merasa bersyukur bisa menjadi tenaga honorer, meskipun kehidupannya selalu pas-pasan. Sebab, dia tahu dan melihat sendiri banyak tenaga honorer yang dipecat tanpa alasan yang kurang jelas. Lagi pula, dengan menjadi tenaga honorer, dia punya jaminan untuk mencari pinjaman kepada teman-teman sekorpsnya.
    Namun tak bisa di pungkiri, sering si Porsuk merasa lelah sendiri, memikirkan keadaan yang dialaminya. Dia kawatir tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.     Memang, dia sering mendengar tentang program-program bea siswa bagi anak anak usia sekolah dan di bangku perkuliahan. Tapi menurutnya, program beasiswa itu terkadang tidak objektif.
    Sering beasiswa itu diberikan kepada orang yang tidak tepat. Dengan sedikit pendekatan yang dilakukan oleh orang tua siswa kepada guru, maka siswa bisa memperolehnya.
    Seandainyapun si Porsuk bisa melakukan itu, hanya terbatas sampai pada tingkat SLTA. Untuk tingkat Universitas, biasanya lebih sulit.
    Si porsuk juga sering mengeluhkan dunia pendidikan di Samosir. Menurutnya, dunia pendidikan saat ini seperti "Dang taraddungkon" (tidak tertangiskan).
    Orang tua tidak mengontrol anaknya belajar di rumah. Kebanyakan guru tidak mempunyai displin yang baik dalam melaksanakan Proses Belajar Mengajar, meskipun sudah digaji cukup tinggi oleh Pemerintah.
    Dan satu lagi,kebanyakan Guru mempunyai selera baca yang rendah. Si Porsuk sering mempertanyakan hal ini kepada Guru, sebab bagaimana caranya seorang guru bisa mengajar dengan baik, kalau tidak mempunyai pengetahuan yang luas.
    Di tambah kontrol yang lemah dari dinas terkait, kemungkinan besar siswa-siswi dari daerah ini tidak akan bisa bersaing dengan siswa-siswi dari daerah lain di tingkat bangku perkuliahan.
    Belum lagi imbas dari mutasi guru yang hangat sekarang ini. Membuat pendidikan di Samosir benar-benar "dang tarandukkon". Meski beberapa guru sudah menangis namun tidak mengubah kebijakan penguasa. Loyalitas lebih penting daripada kemanusiaan. Pendidikan semakin "dang tarandukkon". Kepada mereka yang sudah PNS saja begitu, apalagi kami yang honor.
    Tahun lalu honor juga sudah menangis karena dipecat dan diancam akan dipecat. Meski tak tertulis, tapi pasti banyak yang tahu, semua terjadi karena imbas politis pemilukada.
    "Manis jangan langsung di telan, pahit jangan langsung dibuang". Pepatah itu terpatri kuat di benak si Porsuk, sehingga dia mencoba tetap bertahan sebagai tenaga honorer. Dia sangat berharap, suatu waktu nanti bisa diangkat menjadi PNS, sehingga bisa keluar dari kemelaratan yang dialaminya.<<CAKRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar